Senin, 29 September 2014



KAMAR NO 13
(Karya : Suryani)

Disadur : Admel Brina Indriati [XI RPL²]

         Noor Rizka N.F [XI RPL²]


Di sebuah Kota besar ada sebuah kos-kosan yang terdapat mitos yaitu tentang kamar nomor 13. Di kos-kosan itu ada seorang pelajar yang tinggal di tempat tersebut. Seorang pelajar itu bernama Wawan Gunawan sahabatnya bernama Toto dan Ibu Kos pemilik tempat itu.
Saat pulang dari sekolah Wawan dan Toto berbincang-bincang tentang kamar itu, dan rasa penasaran itupun mulai muncul dalam benak Wawan. Kulangkahkan kakiku menuju Kamar nomor 13 yang tersembunyi di sudut gang, dekat tangga. Kutengok Kiri-kanan, kuputar gagang kamar. Dikunci!



Ibu kos : “Hai sudah kubilang, jangan dekat-dekat kamar itu!” (Bentakan keras dari arah samping kiriku.)
Ibu Kos yang gemuk dan gempal dengan keras mendorongku keluar dari tempat aku berdiri.
Wawan : “Aku hanya ingin tahu isi kamar itu,” (Pintaku pada Ibu Kos).
Ibu Kos : “Tak ada apa-apanya. Dan kuminta, jangan sekali lagi kau membuka pintu kamar ini!” (Jawabnya, sambil memandangku dengan tajam).
             

 Wajah Ibu Kos yang biasanya lembut itu bisa berubah menjadi wajah elang yang siap mencengkram anak-anak ayam. Wawan pun bersikeras tetap ingin membuka kamar itu. Dan keinginanku ini semakin menjadi-jadi. Toto pun tidak setuju Wawan memasuki kamar itu karena Toto bukan orang yang selalu ingin tau. Wawan pun mengajak Toto ke kamar itu untuk mencari tau ada apa dengan Kamar nomor 13 itu.

Wawan : “To, kesana yuk kita nyari tau ada apa di Kamar itu?” (Mengajak Toto untuk memastikan isi Kamar itu).
Toto : “Gila kamu, Wan! Kamar itu ada ghost-nya.” (Ucap Toto kepadaku).
Wawan : ”Oh, jadi kamu takut?” (Ucapku sedikit meremehkan).
Toto: “Bukannya takut, Tapi aku hanya gak ingin mengetahui urusan orang lain.” (Toto tertawa).
Wawan : “Apa salahnya sih mengetahui isi kamar itu.”(Ucap Wawan terhadap Toto).


Besoknya, setelah jalan-jalan dengan Toto, sekitar pukul 20.00 malam, kuajak dia membuka kamar 13 yang selalu menarik perhatianku.


Toto : “Nggak usah, deh! Nggak enak dengan Ibu Kos,” (Jawab Toto kepadaku).
Wawan : “Ah, peduli amat! Cuma having fun!” (Jawabku agak keras).
Toto : “Oke, oke! kamu mesti bantu aku kalau di tending dari tempat kos ini”, (Ujar Toto dengan kesal).
Wawan : “Asyik! ini baru benar-benar asyik. Malam-malam begini ngunjungin kamar yang dianggap angker.” (Jawab Wawan kepada Toto dengan perasaan senang).



Ketika situasi agak aman, bersama Toto kucongkel Kamar nomor 13. Situasi saat itu sangat sepi, hanya beberapa anak kos yang sedang melintasi Kamar 13 tanpa peduli.


Wawan : “Berhasil! Terbuka, Bung!” (Seruku riang).
“Kamu dulu deh yang masuk, aku nyusul dah”, (Kupersilahkan Toto masuk duluan).
Toto : “Aku takut, nggak deh, kamu duluan ajah yang masuk.” (Jawab Toto menolak ajakan Wawan).
Wawan : “Payah!” (Ucapku sambil menggelengkan kepala).
   

Sesampainya kami berdua didalam, ruang tampak sangat gelap. Kuambil senter yang tersimpan dalam sakuku.


Toto : “Cari saklarnya!” (Seru Toto sambil meraba-raba).
Toto : (Toto tersandung sesuatu, entah apa. Tapi membuatnya agak sedikit ketakutan). “Aduh!”
Wawan : “Oke! Nggak usah panik. Kucari saklarnya.” (Ujar Wawan kepada Toto)
“Berhasil!”
Toto : “Ruangan apaan ini?” (Tanya Toto setelah melihat ruangan yang bersih dan rapi).
Wawan : “Aku sudah bilang, nggak ada apa-apa di kamar ini. Tahayul aja yang kamu percaya.” (Ucapku pada Toto).


Kulihat sekeliling ruangan yang tampak bersih itu. Atapnya berwarna merah dan lantainya dari beludru merah mewah. Ada satu meja kantor yang eksklusif, seperti kursi kebesaran bos-bos konglomerat. Lalu ada tempat tidur berwarna hijau lumut. Tampaknya agak aneh dan asing bagiku, karena ada lukisan seorang gadis muda dekat saklar yang kupijit tadi. Matanya memandang dengan genit, tapi agak tajam, mengarah padaku. Senyumnya tipis. Senyum kelicikan yang sering kulihat di televisi.



Toto : “Lukisan itu tampak aneh.” (ujar Toto mengagetkanku).

Tampaknya aku agak tersihir dengan pandangan matanya yang menggemaskan itu.

Wawan : “Tidak hanya aneh. Dia cukup cantik untuk kujadikan pacar.” (gurauku pada Toto).

             Toto memandang sekali lagi pada lukisan itu. Kuarahkan pandanganku keseluruh kamar.



Wawan : “Wah, serasa di hotel mewah!”



Tak kupedulikan Toto yanga menghapus darah di siku kanannya yang berdarah. Aku malah asyik sendiri dan duduk di kursi. Mengambil buku-buku dan membacanya.

Wawan : “Ah, hanya buku-buku biasa yang tak kumengerti. Kayaknya dalam bahasa Jerman.”



Lalu kubolak-balik sekali lagi. Ada tulisan-tulisan simbol. Sepertinya bahasa Mandarin. Juga tak kumengerti. Kubuka buku tebal yang lain, yang juga berdebu. Kubaca satu persatu.



Wawan : “ Hei, ada terselip foto yang cukup lama. Gambar seorang bapak dengan gadis kecil berbaju merah. Manis sekali.”



Sepertinya tampang bapak yang berdiri didekat gadis kecil itu orang Cina. Matanya sipit. Mungkin orang Jepang. Tak bisa kubedakan wajah Cina dan Jepang. Tak kumengerti.



Wawan : ”Tapi, gadis kecil ini sepertinya kukenal. Dimana kulihat wajah indah seperti ini, ya?”. (Ucapku kepada Toto).

Toto : ”Wan! Udah, dong. Ntar Ibu Kos lihat kita!.” (Ajak Toto).

Wawan ; “Ia nggak pernah datanag kesini, kan?.” (Tantangku pada Toto).

Toto : “Udah, Deh. Kamu kan udah mendapatkan apa yang kamu inginkan disini.” (Tutur Toto agak kesal).

Wawan : “Oke, kamu deh yang menang. Besok aku yang kesini sendirian.” (Ucapku dengan nada percaya diri dan yakin).



Belum beberapa saat aku berbalik, Toto terkesima dengan sesuatu.

Toto : ”Wan, tadi kulihat kayaknya lukisan itu tertawa licik.” (Bisik Toto agak cengengesan).

Wawan ; “Mana ?.” (Kutolehkan wajahku kearah lukisan itu).

Tidak ada perubahan. Sepertinya tadi menebarkan senyum yang misterius, tapi amat cantik.

Toto : ”Udah, deh! Aku mau tidur. Cepat, dong!.” (Ujar Toto).



Kurasa Toto takut. Wajahnya agak memucat setelah keluar dari kamar itu. Aku tak tau kalau tissue yang di pakai Toto untuk mengelap darahnya, dibuang ke lantai kamar itu begitu saja. Malam itu, tak kuduga ada sesuatu yang terjadi pada Toto. Sejak pulang dari sekolah, ia masuk kamar dan sorenya sakit. Badannya panas dingin, bergantian.



Wawan : “Ke dokter aja.” (Kataku pada Toto yang bersembunyi dibawah selimut).

Toto : “Siapa yang mau bawa? Kamu?.” (Tanya Toto berbalik. Seperti orang yang kekurangan darah).

Toto dan Wawan saling menyalahkan satu sama lain dan akhirnya.

Toto : “Gara-gara kamu, ngajakin masuk ke Kamar 13!” (Tuduh Toto kepadaku).

Wawan : “Lah, kalau kamu sakit, aku mestinya juga sakit. Kita kan sama-sama masuk kedalam sana.” (Jawabku membantah tuduhan Toto).

Keputusanku saja membawa Toto ke dokter. Baru saja aku keluar dari kamar Toto, kulihat sekilas badan belakang seorang gadis muda berambut agak kebarat-baratan memasuki Kamar 13.

Wawan : (Heran) “Bukannya kamar itu nggak ada orang yang menghuni? Tapi, kenapa tiba-tiba tuh cewek masuk ke Kamar 13?.”

Sifat jelekku mulai muncul. Kuikuti cewek misterius itu. Kulupakan saja Toto yang lagi asyik dengan penyakitnya.

Kuputar gagang pintu kamar itu. Terbuka dan segera kunayalakan tombol saklar. Lampunya tak mau hidup. Padahal kemarin bisa hidup. Kunyalakan senter kecilku. Satu per satu kusoroti. Sempat kusoroti lukisan gadis manis yang bermata tajam. Gambarnya tak ada. Tak mungkin kan gambar itu menjadi seorang manusia?

Tiba-tiba lampunya hidup. Untung, sehingga dapat kuteliti lagi dengan saksama.

Baru saja aku melangkahkan beberapa kali, lampunya mati sendiri.



Wawan : “Ini lampu pasti rusak. Brengsek! Dasar karatan!.”

Baru saja kumaki begitu, lampunya hidup kembali.

Wawan : “Sepertinya ada yang mengejekku. Atau ada yang mau menjebakku. Disini pasti ada orang selain aku, dan coba-coba untuk mengganguku.” (agak kesal)

Lampunya kemudian dengan cepat hidup, mati, hidup, mati.

Wawan : “Mengesalkan!”. (Segera kulangkahkan kaki menuju pintu, kuputar.) Tak bisa dibuka!

Wawan : “Sial! Pintu kuno. Kini aku terjebak. Bisa-bisa sampai semalaman. Belum lagi harus nganterin Toto ke dokter. Harus bagaimana ini?”



Kucongkel dengan keras. Kupukul pintu itu dan berteriak memanggil orang yang mungkin lewat di kamar sial ini.

Tak ada reaksi,tak ada tanggapan. Lampu hidup kembali dengan terang. Aku lunglai dilantai belakang pintu. Aku terjebak dalam kamar yang dikatakan orang-orang menakutkan ini.



Sejurus kemudian, sepertinya ada orang yang memanggilku. Suara cewek.

Cewek Misterius : “Halo, Wawan Gunawan!.” (sapa seseorang kepadaku. Tapi tidak tampak wujudnya).

Wawan : ”Siapa kamu?  mau kenalan? Tampakkan siapa kamu. gak usah kucing-kucingan.” (Teriakku keras).

Cewek Misterius : “Aku ada disini!.”



Tiba-tiba muncul seorang gadis manis berpakaian merah anggun didepanku secara tiba-tiba. Aku terkesiap. Wajah dalam lukisan itu kini berdiri di depanku. Senyumannya angker dan menakutkan, tapi tetap menyimpan kecantikan.

Wawan : “Siapa kamu ?.” (tanyaku bergetar).



Hatiku mulai was-was dan bergetar. Aku takut. Kata mereka benar, di kamar ini ada makhluknya.

Cewek Misterius : “Kenapa kau memasuki kamarku?” (Tanyanya marah).

Wawan : “Aku ….. aku nggak tahu kalau ini kamarmu.” (Jawabnya ragu).

Cewek Misterius : “Aku tak suka kalau kamarku diganggu !” (Teriaknya marah).

Wawan : “Lalu, apa kamu yang membuat temanku Toto sakit?” (Tanyaku cepat).

Cewek Misterius : “Benar ! Aku yang akan menghisap seluruh darahnya lewat tissue yang di buangnya di kamarku. Juga darahmu.” (Ucapnya sambil tertawa licik. Mengerikan!).

Wawan : “Kenapa? Apa, kau makhluk jadi-jadian ?” (Tanyaku spontan).

Cewek Misterius : (Ia tersenyum) “Pintar! Kau pria yang pintar. Aku suka pria yang pintar dan tegap sepertimu.” (Ucapnya sambil mendekatiku).



Wajahnya seperti vampire. Bibirnya mulai mengeluarkan tetesan-tetesan darah. Itu semua membuatku takut. Aku menggedor pintu, teriak minta tolong. Tak ada yang mendengar. Makhluk itu semakin mendekatiku.

Wawan : ‘Tolong!” (Teriak Wawan meminta tolong).

Ronald : “Ngapain, sih itu?” (Tanya seorang membangunkanku).

Mataku mendelik. Dengan cepat ku tepis tangan yang memegang tangan kiriku.

Ronald : “Mimpi buruk, ya!” (Tanya temanku).

Wawan : “Ya, ampun! Ronald ngapain kesini?” (Tanyaku membalas).

Ronald : “Kamu katanya mau cari kos baru! Ayo, sekarang. Ntar keburu malam!” (Jawab Ronald kepadaku).

Wawan :”Benar! Aku lupa. Aku harus pindah dari kos ini mencari rumah baru yang lebih baik dari rumah ini.”

Ronald : “Aaah kamu ini bagaimana!” (Ucapnya dengan kesal).

Wawan : “Panggil si Toto sana, ntar aku nyusul.” (Jawabku padanya).

 Ronald : “Cepat. Ntar telat lagi!” (Serunya padaku) (Ronald melangkah keluar).

Sebelum aku mencari rumah baru, kutemui Ibu Kos dan menceritakan kejahilanku.

Ibu Kos : “Sebelumnya, kamu sudah kuperingatkan.” (Jawabnya agak marah).



Aku menunduk malu dan merasa bersalah. Aku segera minta maaf.

Ibu Kos : “Kamu tahu, gadis dalam lukisan itu anakku. Suamiku seorang campuran antara Jerman dan Cina. Ia mati dibunuh oleh orang yang menculik anakku.” (Cerita Ibu Kos sambil memandang ke luar rumah) “Ia melindungiku dari tembakan para penculik. Lalu anakku sendiri, ia mati tertembak oleh pacarnya yang ingin menolongnya. Tak sengaja. Kini ia masuk penjara. Lalu aku sendiri menyewakan rumahku yang besar ini untuk kos.” (Ibu Kos menangis tersedu-sedu).

Wawan : “Ah, tragis sekali! Bagaimana aku harus minta maaf padanya?”

Ibu Kos : “Berdoalah untuk ketenangan Lola dan ayahnya.” (Pinta Ibu Kos sambil meninggalkanku yang terbengong sendiri).



Aku memang gegabah, sampai harus membuat Ibu Kos menangisi kisah lamanya yang tragis. Besoknya kubawakan bunga hidup dan meninggalkannya di depan pintu kamar itu, sampai aku pindah ke rumah baru atas kerja sama sewa-menyewa dengan teman-temanku. Sebelum aku pergi, kuletakkan beberapa bunga mawar merah yang terikat oleh pita kuning. Kutuliskan dalam secarik kertas “Untuk Lola manis. Semoga kau selalu bahagia bersama ayahmu yang terkasih.”